Maraknya beberapa artis dan Youtuber memamerkan saldo rekening mereka di dunia maya menjadi target otoritas pajak. Apalagi, saldo mereka di atas Rp 1 miliar sudah pasti akan dipajaki oleh pihak perpajakan.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo memaparkan sejumlah fakta mengenai saldo rekening artis dan Youtuber dikenai pajak. Mari cek faktanya.
1. Rekening bank dengan saldo minimal Rp 1 miliar akan dibagikan datanya ke otoritas pajak secara berkala?
Hal ini menurutnya benar, dan sesuai undang-undang. Sebagaimana diatur dalam Perppu 1/2017 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 9/2017 bahwa Ditjen Pajak berwenang mendapatkan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan dan berwenang meminta informasi, bukti maupun keterangan dari lembaga jasa keuangan.
Yustinus menyebut ada dua hal mengatur pajak tersebut, pertama tujuan internasional sebagai prasyarat dan komitmen Indonesia dalam inisiatif global tentang pertukaran informasi otomatis (AEoI).
Kedua, kewajiban Lembaga Jasa Keuangan (LJK) melaporkan informasi keuangan nasabah ke Ditjen Pajak, termasuk yang disimpan di LJK dalam negeri.
Namun, yang wajib dilaporkan ke Ditjen Pajak adalah rekening milik orang pribadi dengan agregat saldo Rp 1 miliar (antarnegara ambang batasnya 250 ribu dollar AS), dan rekening milik entitas tanpa batasan saldo.
"Bukankah menjadi aneh dan tak adil jika ada orang yang memiliki kekayaan berupa simpanan atau investasi keuangan di atas Rp 1 miliar tapi tak punya NPWP dan tak patuh pajak? Sedangkan para karyawan atau buruh yang gaji bulanan di atas Rp 4,5 juta wajib bayar pajak, dan pelaku UMKM wajib membayar pajak 0,5 persen?" ujarnya dalam keterangan tertulis, Jakarta, Jumat (29/11/2019).
2. Mengapa perlu ada akses ini?
Ia tak menampik, bila sistem perpajakan Indonesia selama ini tumpul dan mandul, disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap data keuangan. Padahal logika pemungutan pajak adalah profiling.
Buktinya? Berdasarkan data amnesti pajak, hampir 80 persen harta deklarasi atau sekitar Rp 3.700 triliun berasal dari dalam negeri, dan 60 persen di antaranya adalah aset keuangan.
"Dengan kata lain, pekerjaan rumah kita adalah membangun sistem perpajakan yang memiliki akses luas (transparan) sekaligus menghasilkan tambahan penerimaan yang signifikan (akuntabel). Dalam negara demokratis, di hadapan otoritas pajak tidak ada kerahasiaan (secrecy), karena akan menciderai rasa keadilan publik. Namun konstitusi memberi jaminan perlindungan data pribadi (privacy) dari penyalahgunaan," katanya.
Alasan lainnya mengapa akses ini dibutuhkan, karena selama ini banyak yang belum patuh pajak sehingga kerahasiaan justru menciptakan ketidakadilan bagi yang sudah patuh.
"Yang akan terus dikejar ya yang sudah patuh dan ada di dalam sistem. Maka, perluasan akses ini justru akan memberi keadilan sekaligus meningkatkan penerimaan negara secara signifikan untuk membiayai pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat luas," ujarnya.
3. Perlukah kita khawatir?
Perlu, jika keliru. Tidak bila seluruh saldo rekening dan harta yang dimiliki bersumber dari penghasilan yang telah dipajaki.
Jadi berapa pun nilai saldo rekeningnya tak perlu waswas dan cemas kalau semuanya bersumber dari penghasilan yang telah dilunasi kewajiban pajaknya.
"Pada intinya, jika kita sudah menjadi wajib pajak dan menyampaikan SPT dengan benar, maka informasi keuangan ini hanya menjadi salah satu sumber data yang akan dicocokkan dan dianalisis dengan laporan harta di SPT. Dengan sistem akuntabilitas dan perlindungan yang kuat, kita tak perlu khawatir, apalagi penyalahgunaan data atau informasi keuangan ini diancam pidana," jelasnya.
4. Apa yang dicocokkan?
Data harta yang dilaporkan di SPT dengan data saldo rekening yang didapatkan Ditjen pajak dari Bank. Sejak awal (dan pasca amnesti) semua wajib pajak diminta secara mandiri berkomitmen melaporkan seluruh penghasilan dan hartanya dengan benar dalam laporan pajak.
Otoritas Pajak hanya akan menindaklanjuti wajib pajak yang belum menjalankan komitmennya itu.
Ketika ada data yang tidak sinkron, barulah wajib pajak tersebut dimintakan klarifikasi oleh petugas pajak, lalu dilakukan pembuktian melalui verifikasi, dan jika tidak dapat membuktikan dan tidak melunasi kewajiban pajak, baru dilakukan pemeriksaan.
Proses pemeriksaan pun tetap dijalankan melalui tahapan sebagaimana diatur dalam ketentuan perpajakan, yaitu didahului Surat Perintah Pemeriksaan, peminjaman dokumen, pengujian, dan pembahasan.
No comments
Post a Comment